Hakikat Manusia Menurut Filsafat Islam

CategoriesArtikel

Hakikat Manusia Menurut Filsafat Islam

Oleh :

Muhamad Ibnu Afrelian, M.H.

(Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Islam, STISDA Lampung Tengah)

 

Filsafat Islam memiliki pandangan yang mendalam tentang hakikat manusia, menggabungkan prinsip-prinsip agama Islam dengan penalaran filosofis untuk memahami tujuan, sifat, dan peran manusia dalam kehidupan. Dalam perspektif ini, hakikat manusia tidak hanya terbatas pada aspek material, tetapi juga meliputi dimensi spiritual yang esensial dalam mengarahkan kehidupannya menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan yang terkait erat dengan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

  1. Manusia Sebagai Makhluk Dualitas

Dalam filsafat Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki dua (2) unsur pokok, yaitu: jasad (tubuh fisik) dan ruh (jiwa). Al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan kemudian diberi “ruh” dari Allah (QS. As-Sajdah: 7-9). Dualitas ini memberikan manusia kemampuan untuk terhubung dengan dunia fisik sekaligus mendekatkan diri kepada Allah melalui dimensi spiritualnya.

Konsep ini juga menekankan bahwa manusia memiliki kecenderungan yang saling tarik-menarik antara kebutuhan material dan spiritual. Ketika kebutuhan material dipenuhi tanpa memperhatikan aspek spiritual, manusia dapat terjebak dalam perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, dengan mengutamakan spiritualitas, manusia dapat mencapai keseimbangan hidup yang harmonis.

  1. Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

Dalam Al-Qur’an, manusia diberi tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, yang berarti mereka harus menjalankan peran sebagai wakil Allah dalam menjaga dan mengelola alam semesta (QS. Al-Baqarah: 30). Peran ini memberikan manusia kebebasan dan tanggung jawab moral untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kebaikan dan keadilan.

Sebagai khalifah, manusia tidak hanya berperan dalam mengatur hubungan dengan sesama manusia, tetapi juga bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan alam. Pemahaman ini mengharuskan manusia untuk menyadari bahwa segala tindakannya memiliki dampak, baik terhadap makhluk lain maupun terhadap dirinya sendiri dalam mencapai kesejahteraan lahir dan batin.

  1. Manusia dan Potensi Intelektual

Filsafat Islam juga menekankan bahwa manusia diberkahi dengan akal, suatu anugerah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Akal memungkinkan manusia untuk mencari pengetahuan, memahami realitas, dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah. Para filsuf Muslim, seperti; Al-Farabi dan Ibn Sina, memandang akal sebagai sarana untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran dan hakikat hidup.

Dengan akal, manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, namun kebebasan ini harus dibingkai dengan nilai-nilai etis dan agama. Akal yang digunakan secara bertanggung jawab dan dibimbing oleh ajaran Islam dapat membawa manusia menuju pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan hidup dan hubungannya dengan Sang Pencipta.

  1. Manusia sebagai Makhluk Spiritual dan Religius

Dalam filsafat Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki kecenderungan alami untuk mencari Tuhan dan memahami keberadaan-Nya. Konsep ini disebut sebagai fitrah, yaitu potensi bawaan manusia untuk mengenal dan menyembah Allah SWT. Fitrah ini mengarahkan manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan mencari makna hidup dalam kerangka agama.

Manusia yang menyadari dan mengembangkan fitrah ini akan cenderung merasakan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya, terlepas dari tantangan dan kesulitan yang dihadapi. Ajaran Islam mengarahkan manusia untuk selalu meningkatkan kualitas spiritualnya melalui ibadah dan akhlak, sehingga hidup manusia tidak hanya terfokus pada hal-hal duniawi, tetapi juga pada persiapan menuju kehidupan abadi.

  1. Manusia dan Kebahagiaan Sejati

Menurut filsafat Islam, kebahagiaan sejati (sa’adah) dicapai melalui keseimbangan antara memenuhi kebutuhan jasmani dan mengembangkan aspek rohani. Kebahagiaan ini diperoleh dengan hidup sesuai dengan ajaran Islam, melakukan perbuatan baik, dan mendekatkan diri kepada Allah. Para filsuf Muslim, seperti; Al-Ghazali, menyatakan bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam hal-hal material, tetapi dalam kebersamaan dengan Allah dan pemahaman yang mendalam tentang hakikat hidup.

Kebahagiaan dalam Islam bukan hanya tentang kenikmatan fisik atau emosional, tetapi juga mencakup kedamaian batin yang muncul dari pengabdian kepada Tuhan. Dengan memahami hakikat ini, manusia dapat menjalani hidup dengan penuh makna, menghindari ketidakpastian yang disebabkan oleh ketergantungan pada hal-hal duniawi semata.

Kesimpulan

Dalam filsafat Islam, hakikat manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki dualitas, yaitu jasmani dan rohani, dengan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi. Manusia dilengkapi dengan akal untuk memahami kebenaran dan fitrah yang mendorongnya untuk mendekat kepada Sang Pencipta. Kebahagiaan sejati menurut filsafat Islam adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang mengantarkan manusia pada kedamaian dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.

About the author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *